Kamis, 23 Desember 2010

Sebuah Nama dan Seorang Wanita

Dalam mata tertutup aku melihat diriku berjalan. Memasuki sebuah ruangan serba putih. Aku melihat seorang wanita bercadar sedang duduk berhadapan dengan seorang lelaki. Aku merasakan bahwa aku membutuhkan sesuatu dari wanita ini, dan aku tak tahu itu apa. Ia mengatakan padaku untuk menunggu hingga ia selesai mengobati lelaki di hadapannya.

Aku duduk di ruang tunggu. Wanita itu berkali-kali tersenyum padaku. Seolah menahanku untuk tetap disana. Aku merasa sudah cukup lama menunggu. Kakiku mengatakan untuk segera pergi, meski aku masih juga tetap bertahan. Entah karena senyumnya. Atau karena sesuatu yang aku butuhkan darinya, yang aku tak tahu itu apa.

***

Dalam mata tertutup aku melihat diriku berdiri di sebuah jembatan banyak orang. Aku melihat seorang wanita. Wanita bercadar putih. Aku bisa dengan jelas melihatnya, meski sekilas ia tak tampak jauh berbeda dengan yang lain. Seperti ada cahaya yang berdiri tepat di atasnya.

Berkali-kali mataku bertemu matanya dalam sekejap. Tapi hatiku tidak sedang mengatakan bahwa aku sedang jatuh cinta. Seketika kemudian orang-orang mulai berlarian menuju ujung jembatan. Dan aku baru menyadari bahwa kita tidak berada di jembatan yang sama. Aku segera menyelesaikan ujung jembatan.

***

Aku terbangun. Dan aku masih tak cukup mengerti apa yang Tuhan ingin sampaikan padaku. Wanita misterius, ruang tunggu, dan jembatan yang kutahu tak menyatukan kami. Aku tak menceritakan apa yang telah kulihat kepada siapa pun. Karena yang kutahu hanyalah bahwa aku tak tahu apa-apa.

Malam datang lagi. Dan seperti malam-malam sebelumnya, kini aku ada di tengah gurun, di bibir pantai, dan di antara hamparan laut biru yang panjang. Aku menemuiNya, lagi. Aku dan Dia hanya dipisahkan dua buah telapak tangan yang ditengadahkan, yang juga menjadi penghubung antara aku dan Dia.

***

Dalam mata tertutup aku melihat diriku berlari. Terengah-engah. Seperti sedang dikejar sesuatu, atau sedang mengejar sesuatu. Aku tak tahu.

Aku tak berhenti. Hingga aku menyadari aku sedang berada di sebuah hutan yang dipenuhi pohon-pohon dan batu belukar. Batu-batu itu tampak memancarkan sebuah warna. Aku melihat ada satu memancarkan warna yang berbeda. Aku berjalan ke arahnya, lalu mengangkatnya. Ada selembar daun hijau di baliknya. Sesuatu tertulis disana. Aku bisa membaca dengan jelas sebuah nama. Sebuah nama dan seorang wanita.

***

Dalam mata terbuka aku menyadari bahwa aku mengenali nama itu. Sebuah nama dan seorang wanita. Wanita yang kukenal sejak cukup lama. Dan hari ini aku sedang ada janji dengannya. Ia sudah menungguku. Aku bergegas.

Aku masih belum berhenti memikirkan apa yang telah kulihat kulihat di dunia mata tertutup. Tapi kini aku berjalan penuh keyakinan. Badanku tegap. Langkahku berderap.

Ia duduk sendirian saat aku datang ke arahnya. Aku melihat sesuatu yang berbeda di matanya. Bukan sesuatu yang biasa kulihat. Aku mengira dia juga merasakan yang sama dari pandanganku. Kami lama terdiam. Kecuali napas yang berhembus cepat dan detak jantung yang berlarian, tak sepatah pun keluar dari mulutku dan mulutnya. Hingga,

“Aku bermimpi...” Ya Tuhan, kalimat itu muncul bersamaan dari mulut kami.

Dalam sebentar, gugupku berhenti. Aku mulai berpikir tentang pentingnya waktu. Tak ada yang harus kusia-siakan dengan duduk berlama-lama disini tanpa sepatah kata. Persetan dengan mimpi-mimpi itu! Aku hanya ingin berkata,

“Bulan, aku mencintaimu.”

Aku mengucapkannya tanpa sedikit pun keraguan di lidahku. Karena aku tahu, bukan pergeseran lidah, melebarnya rongga tenggorokan, atau membukanya bibir bawah dan diikuti gigi bawah, yang mengeluarkan kalimat ini. Hatikulah yang mengeluarkannya.

Tanpa ragu. Sebagaimana juga yang ia lakukan, ketika ia memegang kedua tanganku, bangkit dari kursinya yang mulai hangat, dan mencium bibirku. Membebaskan keduanya dari kebekuan. Dan aku menyadari kali ini kami tidak sedang berada di bumi. Kami sedang berdansa di sepanjang cincin Saturnus, duduk saling menyandar di pantai Karibia saat matahari terbenam, dan menikmati indahnya alam bawah air Pandora, dunia para Na’vi.

***

Camar putih lenyap dari pandangan. Sayapnya pelan menyapu awan. Ombak tinggi kejar-mengejar, membentur karang belukar tak bertuan. Perlahan aku bisikkan pada mereka,

“Hati ini tak lagi milik kalian.”

1 komentar:

wie finden Sie?