Jumat, 11 Maret 2011

Gula Segelas Susu

Kita menakar hidup seperti gula segelas susu. Tak seorang mengecap takaran yang sama dengan yang lain. Yang sama adalah bahwa dari Tuhan, adalah karena keindahan indera. Jika beda dalam yang sama, adalah di hati pun miliki lidah tak sama panjang tak sama lapang.

Baiknya kita tak mengorek kotoran kering di lubang hidung lain. Sebab seperti gula segelas susu, tak semua di takaran sama. Sebab seperti gula segelas susu, bila tanpa gula, apa tak jadi hambar?

Kamis, 23 Desember 2010

Sebuah Nama dan Seorang Wanita

Dalam mata tertutup aku melihat diriku berjalan. Memasuki sebuah ruangan serba putih. Aku melihat seorang wanita bercadar sedang duduk berhadapan dengan seorang lelaki. Aku merasakan bahwa aku membutuhkan sesuatu dari wanita ini, dan aku tak tahu itu apa. Ia mengatakan padaku untuk menunggu hingga ia selesai mengobati lelaki di hadapannya.

Aku duduk di ruang tunggu. Wanita itu berkali-kali tersenyum padaku. Seolah menahanku untuk tetap disana. Aku merasa sudah cukup lama menunggu. Kakiku mengatakan untuk segera pergi, meski aku masih juga tetap bertahan. Entah karena senyumnya. Atau karena sesuatu yang aku butuhkan darinya, yang aku tak tahu itu apa.

***

Dalam mata tertutup aku melihat diriku berdiri di sebuah jembatan banyak orang. Aku melihat seorang wanita. Wanita bercadar putih. Aku bisa dengan jelas melihatnya, meski sekilas ia tak tampak jauh berbeda dengan yang lain. Seperti ada cahaya yang berdiri tepat di atasnya.

Berkali-kali mataku bertemu matanya dalam sekejap. Tapi hatiku tidak sedang mengatakan bahwa aku sedang jatuh cinta. Seketika kemudian orang-orang mulai berlarian menuju ujung jembatan. Dan aku baru menyadari bahwa kita tidak berada di jembatan yang sama. Aku segera menyelesaikan ujung jembatan.

***

Aku terbangun. Dan aku masih tak cukup mengerti apa yang Tuhan ingin sampaikan padaku. Wanita misterius, ruang tunggu, dan jembatan yang kutahu tak menyatukan kami. Aku tak menceritakan apa yang telah kulihat kepada siapa pun. Karena yang kutahu hanyalah bahwa aku tak tahu apa-apa.

Malam datang lagi. Dan seperti malam-malam sebelumnya, kini aku ada di tengah gurun, di bibir pantai, dan di antara hamparan laut biru yang panjang. Aku menemuiNya, lagi. Aku dan Dia hanya dipisahkan dua buah telapak tangan yang ditengadahkan, yang juga menjadi penghubung antara aku dan Dia.

***

Dalam mata tertutup aku melihat diriku berlari. Terengah-engah. Seperti sedang dikejar sesuatu, atau sedang mengejar sesuatu. Aku tak tahu.

Aku tak berhenti. Hingga aku menyadari aku sedang berada di sebuah hutan yang dipenuhi pohon-pohon dan batu belukar. Batu-batu itu tampak memancarkan sebuah warna. Aku melihat ada satu memancarkan warna yang berbeda. Aku berjalan ke arahnya, lalu mengangkatnya. Ada selembar daun hijau di baliknya. Sesuatu tertulis disana. Aku bisa membaca dengan jelas sebuah nama. Sebuah nama dan seorang wanita.

***

Dalam mata terbuka aku menyadari bahwa aku mengenali nama itu. Sebuah nama dan seorang wanita. Wanita yang kukenal sejak cukup lama. Dan hari ini aku sedang ada janji dengannya. Ia sudah menungguku. Aku bergegas.

Aku masih belum berhenti memikirkan apa yang telah kulihat kulihat di dunia mata tertutup. Tapi kini aku berjalan penuh keyakinan. Badanku tegap. Langkahku berderap.

Ia duduk sendirian saat aku datang ke arahnya. Aku melihat sesuatu yang berbeda di matanya. Bukan sesuatu yang biasa kulihat. Aku mengira dia juga merasakan yang sama dari pandanganku. Kami lama terdiam. Kecuali napas yang berhembus cepat dan detak jantung yang berlarian, tak sepatah pun keluar dari mulutku dan mulutnya. Hingga,

“Aku bermimpi...” Ya Tuhan, kalimat itu muncul bersamaan dari mulut kami.

Dalam sebentar, gugupku berhenti. Aku mulai berpikir tentang pentingnya waktu. Tak ada yang harus kusia-siakan dengan duduk berlama-lama disini tanpa sepatah kata. Persetan dengan mimpi-mimpi itu! Aku hanya ingin berkata,

“Bulan, aku mencintaimu.”

Aku mengucapkannya tanpa sedikit pun keraguan di lidahku. Karena aku tahu, bukan pergeseran lidah, melebarnya rongga tenggorokan, atau membukanya bibir bawah dan diikuti gigi bawah, yang mengeluarkan kalimat ini. Hatikulah yang mengeluarkannya.

Tanpa ragu. Sebagaimana juga yang ia lakukan, ketika ia memegang kedua tanganku, bangkit dari kursinya yang mulai hangat, dan mencium bibirku. Membebaskan keduanya dari kebekuan. Dan aku menyadari kali ini kami tidak sedang berada di bumi. Kami sedang berdansa di sepanjang cincin Saturnus, duduk saling menyandar di pantai Karibia saat matahari terbenam, dan menikmati indahnya alam bawah air Pandora, dunia para Na’vi.

***

Camar putih lenyap dari pandangan. Sayapnya pelan menyapu awan. Ombak tinggi kejar-mengejar, membentur karang belukar tak bertuan. Perlahan aku bisikkan pada mereka,

“Hati ini tak lagi milik kalian.”

Kamis, 11 November 2010

Merdeka!

untuk Ayah dalam Gugur
untuk ayahku Bung Karno
untuk Bung Tomo


lutut yang ditekuk di dada
tak akan lagi adalah kita, Ayah
hati yang di bimbang kambing
kini sudah di teguh karang

peluru
bising
roda
riak
maki

datanglah! lalu mati saja

kau gugurkan kerak kami, Ayah
lewat semangatmu yang tak ikut pergi

hanya akan ada dua surga;
di tempatku berdiri
atau di tempatmu berbaring

Kamis, 28 Oktober 2010

Mahasiswa

matahari mengintip dari jendela
aku mukaku dilulur cahaya

detak jarum sudah di atas yang seharusnya
aku bercerai dengan selimut
rambut hanya dibasahi angin

buku, pena, sepatu, dan ikatnya
aku hidup di atasnya
kita hirup kita kupas getahnya

titah tuanlah jadi santapan

agar malam tidur dapat tenang
siang, makan harus diselesaikan

Bila Kuteguk Seteguk

hei matahari
senyummu tak manis
keringatku berpuluh deras
berkeluh mengucur
berpeluh meneduh
menuduh ketidaknyamanan
menyamai di gurun
desir
pasir
semilir
turun hujan tak kunjung
mendung ikut tak hadir
desir
air
semilir
bila kuteguk seteguk
desir
desir
semilir
ingin angin
angan saja pun tak apa
ah
goyah langkah
mati arah
desir
angin
air
bila kuteguk seteguk
bila kuteguk seteguk

Senin, 27 September 2010

Simfoni

jemari yang tergesa-gesa di atas piano
setiap rinci nada
hentakan yang tiba-tiba

hidup diawali dari lembah
lalu setinggi apa jemari menyentuh awan

dihembus angin-angin biru adalah irama
hinggapi daun-daun hijau adalah karena
dialun lembut
diarak awan

aku dibirukan langit
aku diputihkan awan
aku dibelai lirih-lirih ombak

aku luruh aku larut aku buka mataku

tak ada yang lebih indah dari hidup ini
selain hidup itu sendiri

Selasa, 21 September 2010

Saya dan Bahasa Jerman

Saya selalu berpendapat bahwa bahasa Jerman adalah bahasa yang menarik. Kosakatanya yang unik dan tatabahasanya yang cukup rumit membuat saya semakin tertantang untuk mempelajari dan menguasainya.

Sejak SMA, bahasa Jerman adalah pelajaran favorit saya jika dibandingkan dua bahasa asing lainnya yang juga diajarkan di sekolah, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. Hal ini lebih karena faktor guru. Guru bahasa Jerman kami adalah seorang yang muda, cantik dan sangat kreatif. Hal tersebut memberikan nilai lebih untuk pelajaran ini. Namun, bahasa Jerman tak pernah menjadi pilihan utama saya dalam seleksi masuk perguruan tinggi, baik lewat jalur PMDK maupun SNMPTN.

Bahasa Inggris adalah obsesi saya sejak saya mengenal bahasa asing. Karena itu bahasa Inggris selalu menjadi pilihan utama saya baik dalam seleksi jalur PMDK maupun SNMPTN. Bahasa Jerman bahkan tidak menjadi pilihan kedua saya dalam PMDK. Saat itu saya memilih Psikologi sebagai pilihan kedua. Baru dalam SNMPTN, saya menjadikan bahasa Jerman sebagai pilihan kedua setelah bahasa Inggris.

Cerita saya sebelum masuk jurusan bahasa Jerman bisa dibilang sedikit diwarnai keteledoran dan ketidakberuntungan. Saat akan menjalani tes PMDK bahasa Inggris, kartu peserta PMDK saya tertinggal di rumah. Sehingga saya terpaksa harus pulang kembali dan mengambil kartu peserta saya. Di kartu peserta PMDK tertulis bahwa saya harus menuju gedung D5. Tetapi saat akan memasuki gedung D5, diberitahukan bahwa lokasi tesnya adalah di gedung J9. Hal ini membuat saya terlambat untuk mengikuti tes wawancara dan sudah cukup untuk menjadi alasan bagi penjaga pintu ruangan untuk menolak saya masuk. Meski saya sudah mencobanya untuk kedua kalinya sekalipun.

Dalam SNMPTN, saya kembali tidak beruntung karena lagi-lagi Tuhan seolah menegaskan bahwa bahasa Inggris bukanlah masa depan saya. Sehingga di sinilah akhirnya saya duduk manis di hadapan para dosen, sebagai mahasiswa jurusan Sastra Jerman Universitas Negeri Malang.